Rabu, 05 Maret 2008

Puisi al-Hallaj

راْيت ربي بعين قلب
فقلت من اْنت قال اْنت

raaitu rabbi bi 'aini qalbin
faqultu man anta qala anta

Aku melihat Tuhanku dengan mata hati
Maka aku bertanya, "siapa kamu?"
Dia menjawab: "kamu."

Mencari Autentisitas dan Kearifan Global


Dasar dari tatanan masyarakat yang tertata secara baik tidaklah melulu memerlukan segala konsepsi metafisik tentang kebaikan. Demikian kecenderungan pandangan hidup (manhaj) dari kebanyakan masyarakat modern pasca pencerahan.

Teoritikus dan saintis barat malah mentahbiskan bahwa mereka merasa tidak sreg dan tidak memerlukan konsepsi,dasar transcendental untuk mencapai puncak peradaban. Pandangan ini lebih lanjut menjadi derivasi dari pandangan bahwa spiritualisme, tradisi, dan sejarah—the heart of religion—hanyalah sebuah anakronisme yang tidak lagi mendapat ruang eksistensi diabad modern.

Realitas factual ternyata bersifat paradoksal, tatkala usaha mengakhiri konsepsi tradisional semakin masif, justru teori, konsepsi, dan keyakinan tradisional ini menunjukan kepastian dalam upaya pencapaian peradaban tersebut; Revolusi iran, Terorisme klinik aborsi di Pensacola, tragedy WTC, Bom Bali, kemenangan politik partai HAMAS di Palestina dan pengayaan uranium di Iran merupakan bukti empiris kepastian tradisionalisme. Khusus untuk Islam, Huntinton-pun yang sama tidak sregnya dengan kecenderungan tradisionalisme ini sampai harus menulis kalimat khusus dalam bukunya Who Are We, bahwa “islam is the only civilization which has put the survival of the west in doubt, and it has done at least twice.” Bahwa hanya islamlah yang mampu menjadi ancaman serius bagi peradaban barat.

Atas nama sains dan peradaban, barat berusaha mengakhiri anakronisme pandangan “teosentris” kepada “antroposentris”, yaitu membuat manusia menjadi tolok ukur dari segala sesuatu, meminjam bahasanya Budy Munawarahman, yaitu menggantikan “Kerajaan Tuhan” dengan “Kerajaan Manusia”. “Kemerdekaan” akal dari wahyu dan intuisi intelektual, ditambah dengan penekanan pada humanisme, rasionalisme, empirisisme, dan naturalisme pasif.

Perubahan radikal yang membawa pada banyak perkembangan baru termasuk sains-sains baru yang didasarkan pada kehendak kekuasaan (will to power) daripada kebijaksanaan(wisdom), dan memungkinkan Eropa(barat) melakukan ekspansi ke seluruh dunia, lalu menjadi berkuasa atas kebudayaan-kebudayaan lainnya. Kemerdekaan akal ini kemudian membawa pada revolusi industri dan kemajuan teknologi modern. Peradaban yang menciptakan manusia-manusia kaku yang dipenuhi hasrat-disire dan terjebak dalam kesadaran palsu—fals counsiousness.

Kesadaran palsu yang merupakan derivasi dari kesadaran sains-filosofis ansich hanyalah akan menciptakan peradaban yang kering dan tidak memiliki ruh, serta hanya menciptakan manusia-manusia modern yang dingin dan membatu serta amoral, hingga pada saat yang sama, lemah dan tidak berdaya. Suatu jenis manusia yang digambarkan oleh Paul Simon sebagai manusia yang tidak menunggu sesuatu, kecuali kereta bawah tanah.

Mencari Autensitas

Perbuatan terkutuk pers Denmark yang menampilkan sosok Nabi Muhammad SAW dalam bentuk kartun teroris baru-baru ini dapatlah dijadikan fakta empiris bahwa atas nama liberalisme, rasionalisme dan pragmatisme penduduk kerajaan manusia ini sering menghalalkan segala cara dalam meraih kepentingan material, mengutamakan “kekuasaan diatas kebijaksasanaan.”

Peritiwa amoral ini tentunya sangat menyakitkan bagi umat islam yang selama berabad-abad memberi perhormatan tertinggi terhadap kekasih sejatinya. Lalu dimana letak kesalahannya, pihak barat satu sisi menyalahkan islam sebagai idiot dan teroris, disisi lain baratpun dimata umat islam tidak beradab dan secara subversif tolol! Siapa yang salah dan dimana letak kesalahannya inilah yang harus dipikirkan baik oleh barat maupun ummat islam dan kaum beragama secara umum. Ummat islam tidak mungkin hidup secara terus menerus dalam bingkai stereotif barat sebagai teroris, begitupun barat tidak mungkin hidup dalam kekeringan ruh dan stereotif sebagai the other dimata islam.

Melihat posisi diametral islam dan barat saat ini, tampaknya harus ada salah satu dari kedua pihak tersebut yang mengambil langkah proaktif untuk menciptakan pergumulan global yang bermoral(Global ethic).

Adalah Sayyed Husein Naseer seorang pemikir neo-tradisionalis terkemuka yang menekankan pentingnya upaya fides Quarens Intellectum, atau merasionalkan keimanan sebagai jalan untuk memberi penjelasan rasional jantung agama (the heart of islam).

Munculnya prangsangka dan stereotif barat akan islam sebagaimana disinggung Naser merupakan buah dari ketidakpuasan barat terhadap penjelasan agama (Baca;Islam) dalam menafsirkan perubahan bahasa zaman, alih-alih kaum agamawan dianggap sebagai anakronisme yang bukan hanya tidak penting tapi juga wajib dibumi hanguskan. Kehadirannya di dunia ini hanya menjadi candu dan membuat kaku arah gerak zaman.

Untuk itu kata Naser model terbaik penjelasan rasionalitas keimanan adalah dengan mengharmonisasikan agama dan filsafat, atau iman dan akal budi, sebagaimana yang ditekankan Ibnu Rushdy dengan nalar burhani-nya yang kemudian disempurnakan oleh Mulla Sadra dengan Hikmah Muta’aliyah-nya, yaitu upaya penalaran yang dihasilkan dari penggabungan model filsapat paripatetik-nya Ibnu Sina, illuminasi-nya Suhrawardi dan reveletionkasyf—nya Ibnu Arabi.

Terakhir Naser menilai bahwa upaya rasionalisasi keimanan ini telah banyak membuktikan bahwa sebenarnya agama tidaklah melulu menjadi penghalang bagi kemajuan zaman, agama justru menjadi pemacu kemajuan. Bahkan kata Robert spencer “kemajuan spiritual dan material terikat secara dialektis, dan bahwa interaksi seperti itu menjadi penggerak kemajuan peradaban”.

Agitasi gila-gilaan akan kecenderungan sokratisme hanyalah akan merampas dan menghegemoni hak orang-orang lapar, lapar akan mistisme, lapar akan mitos, sejarah dan lapar akan tradisi. Dan bukankah kelaparan ini telah membuat peradaban manusia semakin jauh melampaui modernitas?.

Komitmen Transformasi Global

Upaya fides quarens intellectum memang bukan hal yang mudah, para pencetus awal teori ini bahkan tak dapat mengelak dari tuduhan sesat dan kafir, sampai-sampai Imam Ghazali harus menulis At-Tahafut Falasifat untuk menunjukan kerancuan pengusung rasionalitas iman ini. Di-era modern Caknur dan para pendukungnya yang diklaim sebagai pengusung madzhab liberal (Islam Liberal) juga mendapat perlakuan yang sama, bukannya menciptakan realitias baru yang berperadaban malahan memunculkan konflik teologis yang berkepanjangan.

Celakanya para pencetus fides querens intellectum pada masa mutakhir ini tidak mampu menyelesaikan semua tahapan rasionalisasi keimanan dalam membaca bahasa zaman, terhenti, alih-alih melahirkan kerancuan hermeunetik.

Kerancuan hermeneutic ini telah membuat para pencari autentisitas terjebak dalam kubangan pragmatisme dan enggan untuk menyejarah ketahap akhir dari lingkaran hermeneutic. Upaya hermeunetik tak ubahnya menimbulkan konflik intern yang tak berkesudahan.

Permenungan eksegesis yang muncul dari hasil penafsiran bahasa zaman yang despotic dan penuh dengan kerancuan yang entah disengaja ataupun tidak dibiarkan hanya berkutat pada tahapan dialektika penafsiran, permenungan yang tanpa aksi dan reaksi.

Oleh karena itu upaya pencarian autentisitas; baik identitas diri, agama maupun bangsa haruslah mengarah pada upaya pencitaan peradaban yang menjungjung tinggi moral dan etika global. Rahim peradaban yang mampu melahirkan manusia-manusia yang memiliki komitmen penuh terhadap transformasi yang mulia.