Sabtu, 21 Maret 2009

neh berita menarik dari Sindo

Perjuangan Karmaka Membesarkan Bank NISP
Tuesday, 17 March 2009
LEWAT tengah malam sekitar Juli 1997, di sebuah kamar ICU Rumah Sakit Mount Sinai,New York,AS, seorang pria berusia sekitar 64 tahun duduk tertunduk di sisi tempat tidurnya.


Sedetik kemudian, dia turun dan bersimpuh menghadap dinding.Wajahnya begitu takzim dengan tubuh setengah membungkuk seperti orang yang khusyuk berdoa. Sejurus kemudian, keheningan merasuk. Air mata meleleh di pipinya, mengiringi suara lirih dari kedua bibirnya. Itulah pengakuan dosa sekaligus untaian doa Karmaka Surjaudaja yang tengah putus asa dan berniat bunuh diri untuk mengakhiri hidupnya. Sirosis liver yang menggerogoti tubuhnya selama lima tahun membuatnya menyerah.

Setelah mencabut sendiri seluruh selang infus dan oksigen yang menopang hidupnya, dia merapi diri dan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, menanti kematian datang. Seketika kesadarannya menguap, gelap pun menyergap. Fajar belum lagi menyingsing, Karmaka sudah terentak. Suara gaduh telah menyadarkannya, sekaligus mengembalikan kehidupannya. Tujuh perawat segera memasang kembali selang di tubuhnya untuk menyelamatkan hidupnya.

”Kami sudah susah payah untuk menolongmu, mengapa kamu ingin mati,” kata seorang dokter dengan nada tinggi setelah melihat ulah nekat pasiennya. Kini lebih dari sepuluh tahun peristiwa itu berlalu, Karmaka terlihat lebih segar dan sehat. Meski telah menjalani transplantasi liver dan ginjal,semangat hidupnya terus bergelora.Dia pun menyesali ”kebodohannya” dulu, karena sekarang ternyata usaha kerasnya mempertahankan dan memajukan sebuah bank ”titipan” mertuanya berbuah manis.

Itulah salah satu fragmen dalam kehidupan yang menjadi inspirasi Chairman Emeritus & Senior Board Advisor Bank OCBC NISP Karmaka Surjaudaja yang membuatnya bertekad untuk terus berjuang sebagai penghormatan atas anugerah panjang umur dari Tuhan.

Bahkan,Karmaka sebelumnya bernama Kwee Tjie Hoei,menyaksikan sendiri Bank NISP yang diamanatkan sang mertua Lim Khe Tjie dalam kondisi limbung pada 1962, kini berubah bak bendera yang berkibar-kibar. Kisah sukses perjuangan Karmaka membesarkan Bank NISP sebagai salah satu bank terbaik di Tanah Air saat ini, dituangkan secara menarik dan gaya bahasa bertutur dalam buku Karmaka Surjaudaja, Tidak Ada yang Tidak Bisa. Buku yang dirilis penerbit Jaring Pena ini semakin menarik karena ditulis oleh wartawan senior,penulis buku best seller, sekaligus Chairman/ CEO Jawa Pos Group Dahlan Iskan.

Buku setebal 280 halaman ini merekam secara detail perjalanan dan perjuangan Karmaka sejak kecil sampai menjadi tokoh sukses dan menyerahkan tongkat estafet kepemimpinannya kepada anak-anaknya. Mengikuti kisah perjuangan Karmaka, seperti mengikuti sebuah roman yang berliku. Sejak kecil kehidupannya penuh penderitaan, membuatnya bersedia untuk berkorban sekaligus berjuang untuk menolak kalah pada takdir.

Halangan, krisis, dan badai seakan tak pernah mau terlalu pergi dalam kehidupan Karmaka.Namun, setiap kali itu pula Karmaka berhasil melaluinya, meski harus berlinang air mata dan mempertaruhkan darah serta nyawanya. Semuanya, tak membuat Karmaka menyerah, apalagi tersungkur. Sebaliknya, segala rintangan telah menempa dirinya menjelma menjadi sosok yang tabah, kuat, penuh empati, dan menghargai kehidupan.

Mengapa Karmaka dalam hidupnya pernah dua kali hendak bunuh diri, seperti pada malam di Rumah Sakit Mount Sinai,New York? Apalagi kondisi Bank NISP saat itu bisa dibilang sudah maju. ”Saya tak ingin merepotkan orang lain dan ingin menebus dua dosa besar dalam hidup saya,”ujarnya. Dua dosa besar? Karmaka mengaku ada dua dosa besar dalam hidupnya.Pertama, selama ini dia telah melupakan Tuhan sehingga membuatnya lalai berdoa. Kedua, atas keputusannya memecat 3.000 karyawan pada 1966 ketika Bank NISP di ambang kebangkrutan.

Begitulah kebesaran jiwa dari manusia yang sukses melalui terpaan badai, selalu tersemat kerendahan hati dan empati.Tak tebersit jumawa dalam dadanya. (wasis wibowo)

Liberalisme dan Sekulerisme dalam Al-Majalah Al-Ahkam Al-Adaliyah

Majallah al-Ahkam al-Adaliyah adalah kitab undang-undang hukum perdata Islam yang disusun pemerintah Turki Usmani pada tahun 1800-an. Kitab ini terdiri dari 1851 pasal dan disusun selama tujuh tahun.”
Sebagaimana diketahui Majallah al-Ahkam dan Qanun Qarar al-Huquq al-‘A-ilah al-Utsmaniyah yang lahir beberapa dekade setelahnya adalah merupakan produk konstitusi yang lahir pasca Tanzhimat Ustmani tahun 1800-an yang berupaya mengadopsi pola pikir barat demi menandingi kemajuan barat saat itu (Antony Black, 2001) .
Reformasi konstitusi yang dikemudian hari melahirkan benih-benih sekularisme, liberalisme dan nasionalisme dangkal berdasarkan cinta tanah air (Patrie:Wathan) ansich. Dalam ranah ekonomi sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Ali—Tokoh Tanzhimat Utsmani yang bersekutu dengan Inggris—bahwa tidak ada lagi jalan untuk memajukan bangsa Turki selain dari menerapkan formula pembangunan ala Eropa.
Sejarah reformasi Turki Utsmani sering dirujuk oleh kalangan muslim dalam hal apapun; Hukum, ekonomi dan politik. Padalah Tanzimat ini merupakan sejarah perselingkuhan tokoh-tokoh sekuler dengan pihak inggris yang menghendaki kehancuran Khilafah Turki Utsmani.
Hasan Pasya dan putranya Ali Abdul Rajik adalah sosok yang terheboh dan paling kontroversial disepanjang sejarah moderen Islam Turki dan Mesir. Ayahnya, Hasan Pasya adalah sekutu tetap Inggris dalam upaya memerdekakan Mesir dari kekhalifahan Turki Utsmani. Sedangkan Ali Abdul Razik adalah ulama Al-Azhar yang dengan serampangan melontarkan gagasan sekularisasi politik Islam dan menghapus kekhalifahan seraya menganggapnya sebagai sejarah kelam ummat Islam.
Dr. Muhammad Dhia’uddin ar-Rayis dan beberapa ulama lainnya di Mesir telah membuktikan bahwa betapa tesis Abdul Razik bukan sebuah karya ilmiah sejati, melainkan karangan fiktif yang ide asasinya tentang hubungan Islam dengan masyarakat atau hakikat negara dan pemerintahan Islam merupakan pemikiran yang keliru. Sayang, dikemudian hari benih-benih pikiran kontroversialnya justru dianggap seksi dan unik oleh kalangan liberal Islam, sehingga dapat merasuki kecenderungan teori hukum maupun politik ummat Islam.
Dari sisi ekonomi tak ayal muatan idiologi kapitalisme bersemayam secara terapis dalam konstitusi hasil tanzhimat kaum yuridis Turki Utsmani. Dekrit reformasi Utsmani yang dikeluarkan sewaktu perang Crimea (1856) bahkan dikhususkan untuk memperbaiki posisi kaum minoritas agama (baca:Penguasa) diatas puncak kekuasaan Turki Utsmani.
Reformasi tersebut secara terang-terangan merekomendasikan pengembangan sektor ekonomi melalui kebijakan yang serba monopolistik. Sedang perubahan yang paling mencolok dalam bahasa ekonomi-politik adalah pengenalan kata ”warga negara” (teb’a: sebuah neologisme) untuk menyebut penduduk negara, istilah yang berbeda dengan kategori-kategori berdasarkan agama ataupun jabatan yang biasa digunakan.
Fakta bahwa ide-ide liberal Eropa yang diakomodasi oleh penguasa saat itu semakin memperkuat posisi kesultanan, bisa kita lihat dari tidak adanya upaya untuk membentuk lembaga perwakilan. Turki Utsmanipun kian menjadi tiran lantaran berubahnya peran tradisional ulama dan syari’at yang menjadi alat untuk melegitimasi kekuasaan negara.
Dan ternyata, cepatnya penyusunan draft KHES atau Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah diketahui setelah Tim Penyusun merujuk kitab Majallah al-Ahkam tersebut........

Jumat, 20 Maret 2009

Berita Bisnis asik dari Detik nih

Senin, 02/02/2009 06:52 WIB
Laporan dari Austria
Makan Sepuasnya, Bayar Seikhlasnya
Hanum Salsabiela Rais - detikNews


Foto: Hanum/dok detikcom

Wina - Konsep restoran 'all you can eat' atau buffet dengan hanya membayar
harga tertentu, mungkin sudah biasa dimana mana. Tapi resto yang satu ini
unik, karena berani mengambil resiko merugi.

Deewan Resturant, sebuah resto masakan Pakistan di Wina menawarkan konsep 'makan sepuas Anda, bayar semau Anda'. Bayangkan, Anda makan banyak, tapi hanya bayar sedikit. Wah, apa jadinya restoran seperti itu?

Namun ternyata nasib Deewan tak sejalan dengan logika prinsip ekonomi untuk
memaksimalkan keuntungan. Buktinya, dari tahun ke tahun, Deewan terus beroperasi. Para pelanggannya pun datang, makan, dan membayar dengan harga
lebih dari yang diharapkan.

Berlokasi di Schottentor, resto ini pun menjadi favorit para mahasiswa yang berkuliah di daerah tersebut. Tentu saja, untuk ukuran mahasiswa yang tak mempunyai banyak bujet jajan diluar, resto ini memang menjadi pilihan utama. Tapi diluar mahasiswa, resto ini bahkan menjadi tempat kuliner favorit turis dan backpacker.

Didirikan oleh seorang lulusan filsafat, Natalie Deewan, konsep resto ini
terinspirasi akan nilai nilai kedermawanan manusia baik dari sisi pemberi
maupun penerima.

"Pada minggu-minggu awal kami tak yakin, tapi ternyata pelanggan makin antusias, dan membayar banyak", ujar Natalie.

Lalu berapakah 'fair fare' yang masuk akal jika makan di sini? Jika melihat menunya, memang Deewan tak terlalu banyak menyediakan macam-macam masakan. Di meja buffenya, hanya ada 2 pilihan makanan utama.

Pertama, kelompok makanan kari dari bahan ayam, kambing hingga lembu dan kedua, makanan vegetarian saja serupa kebab sandwich. Diluar buffet utama, disediakan makanan pencuci mulut bernama Halla, yaitu sejenis nasi manis yang diolah menggunakan susu dan minyak.

Selain itu, Deewan juga menyuguhkan nasi dan juga kentang. Sementara, untuk
minum, Deewan telah mematok harga tersendiri.

"Saya membayar 5 Euro untuk ini semua", ujar Khan, salah satu pelanggan keturunan Pakistan yang telah beberapa kali datang di Deewan.

Tak hanya warga keturunan Pakistan yang menjadi pelanggan di Deewan, tampak para bule dan orang Asia juga duduk ikut menikmati kuliner Pakistan. Bagaimana dengan rasa dan kualitas?

"Untuk konsep seperti ini (pay as you wish), rasa menjadi nomer dua, yang penting rasa lapar teratasi", kelakar Lena Weiss salah satu warga Austria yang datang ke Deewan jika tak memasak.

Pernahkan Deewan pernah mengalami krisis keuangan selama menjalankan usaha semacam ini?

"Belum, terus terang selama ini para pelanggan cukup tahu diri dengan
banyaknya yang mereka makan," sindir salah satu staff Deewan yang tak mau
disebut namanya.

Mungkinkah konsep resto seperti ini ada di Jakarta? (sal/mad)

Rabu, 05 Maret 2008

Puisi al-Hallaj

راْيت ربي بعين قلب
فقلت من اْنت قال اْنت

raaitu rabbi bi 'aini qalbin
faqultu man anta qala anta

Aku melihat Tuhanku dengan mata hati
Maka aku bertanya, "siapa kamu?"
Dia menjawab: "kamu."

Mencari Autentisitas dan Kearifan Global


Dasar dari tatanan masyarakat yang tertata secara baik tidaklah melulu memerlukan segala konsepsi metafisik tentang kebaikan. Demikian kecenderungan pandangan hidup (manhaj) dari kebanyakan masyarakat modern pasca pencerahan.

Teoritikus dan saintis barat malah mentahbiskan bahwa mereka merasa tidak sreg dan tidak memerlukan konsepsi,dasar transcendental untuk mencapai puncak peradaban. Pandangan ini lebih lanjut menjadi derivasi dari pandangan bahwa spiritualisme, tradisi, dan sejarah—the heart of religion—hanyalah sebuah anakronisme yang tidak lagi mendapat ruang eksistensi diabad modern.

Realitas factual ternyata bersifat paradoksal, tatkala usaha mengakhiri konsepsi tradisional semakin masif, justru teori, konsepsi, dan keyakinan tradisional ini menunjukan kepastian dalam upaya pencapaian peradaban tersebut; Revolusi iran, Terorisme klinik aborsi di Pensacola, tragedy WTC, Bom Bali, kemenangan politik partai HAMAS di Palestina dan pengayaan uranium di Iran merupakan bukti empiris kepastian tradisionalisme. Khusus untuk Islam, Huntinton-pun yang sama tidak sregnya dengan kecenderungan tradisionalisme ini sampai harus menulis kalimat khusus dalam bukunya Who Are We, bahwa “islam is the only civilization which has put the survival of the west in doubt, and it has done at least twice.” Bahwa hanya islamlah yang mampu menjadi ancaman serius bagi peradaban barat.

Atas nama sains dan peradaban, barat berusaha mengakhiri anakronisme pandangan “teosentris” kepada “antroposentris”, yaitu membuat manusia menjadi tolok ukur dari segala sesuatu, meminjam bahasanya Budy Munawarahman, yaitu menggantikan “Kerajaan Tuhan” dengan “Kerajaan Manusia”. “Kemerdekaan” akal dari wahyu dan intuisi intelektual, ditambah dengan penekanan pada humanisme, rasionalisme, empirisisme, dan naturalisme pasif.

Perubahan radikal yang membawa pada banyak perkembangan baru termasuk sains-sains baru yang didasarkan pada kehendak kekuasaan (will to power) daripada kebijaksanaan(wisdom), dan memungkinkan Eropa(barat) melakukan ekspansi ke seluruh dunia, lalu menjadi berkuasa atas kebudayaan-kebudayaan lainnya. Kemerdekaan akal ini kemudian membawa pada revolusi industri dan kemajuan teknologi modern. Peradaban yang menciptakan manusia-manusia kaku yang dipenuhi hasrat-disire dan terjebak dalam kesadaran palsu—fals counsiousness.

Kesadaran palsu yang merupakan derivasi dari kesadaran sains-filosofis ansich hanyalah akan menciptakan peradaban yang kering dan tidak memiliki ruh, serta hanya menciptakan manusia-manusia modern yang dingin dan membatu serta amoral, hingga pada saat yang sama, lemah dan tidak berdaya. Suatu jenis manusia yang digambarkan oleh Paul Simon sebagai manusia yang tidak menunggu sesuatu, kecuali kereta bawah tanah.

Mencari Autensitas

Perbuatan terkutuk pers Denmark yang menampilkan sosok Nabi Muhammad SAW dalam bentuk kartun teroris baru-baru ini dapatlah dijadikan fakta empiris bahwa atas nama liberalisme, rasionalisme dan pragmatisme penduduk kerajaan manusia ini sering menghalalkan segala cara dalam meraih kepentingan material, mengutamakan “kekuasaan diatas kebijaksasanaan.”

Peritiwa amoral ini tentunya sangat menyakitkan bagi umat islam yang selama berabad-abad memberi perhormatan tertinggi terhadap kekasih sejatinya. Lalu dimana letak kesalahannya, pihak barat satu sisi menyalahkan islam sebagai idiot dan teroris, disisi lain baratpun dimata umat islam tidak beradab dan secara subversif tolol! Siapa yang salah dan dimana letak kesalahannya inilah yang harus dipikirkan baik oleh barat maupun ummat islam dan kaum beragama secara umum. Ummat islam tidak mungkin hidup secara terus menerus dalam bingkai stereotif barat sebagai teroris, begitupun barat tidak mungkin hidup dalam kekeringan ruh dan stereotif sebagai the other dimata islam.

Melihat posisi diametral islam dan barat saat ini, tampaknya harus ada salah satu dari kedua pihak tersebut yang mengambil langkah proaktif untuk menciptakan pergumulan global yang bermoral(Global ethic).

Adalah Sayyed Husein Naseer seorang pemikir neo-tradisionalis terkemuka yang menekankan pentingnya upaya fides Quarens Intellectum, atau merasionalkan keimanan sebagai jalan untuk memberi penjelasan rasional jantung agama (the heart of islam).

Munculnya prangsangka dan stereotif barat akan islam sebagaimana disinggung Naser merupakan buah dari ketidakpuasan barat terhadap penjelasan agama (Baca;Islam) dalam menafsirkan perubahan bahasa zaman, alih-alih kaum agamawan dianggap sebagai anakronisme yang bukan hanya tidak penting tapi juga wajib dibumi hanguskan. Kehadirannya di dunia ini hanya menjadi candu dan membuat kaku arah gerak zaman.

Untuk itu kata Naser model terbaik penjelasan rasionalitas keimanan adalah dengan mengharmonisasikan agama dan filsafat, atau iman dan akal budi, sebagaimana yang ditekankan Ibnu Rushdy dengan nalar burhani-nya yang kemudian disempurnakan oleh Mulla Sadra dengan Hikmah Muta’aliyah-nya, yaitu upaya penalaran yang dihasilkan dari penggabungan model filsapat paripatetik-nya Ibnu Sina, illuminasi-nya Suhrawardi dan reveletionkasyf—nya Ibnu Arabi.

Terakhir Naser menilai bahwa upaya rasionalisasi keimanan ini telah banyak membuktikan bahwa sebenarnya agama tidaklah melulu menjadi penghalang bagi kemajuan zaman, agama justru menjadi pemacu kemajuan. Bahkan kata Robert spencer “kemajuan spiritual dan material terikat secara dialektis, dan bahwa interaksi seperti itu menjadi penggerak kemajuan peradaban”.

Agitasi gila-gilaan akan kecenderungan sokratisme hanyalah akan merampas dan menghegemoni hak orang-orang lapar, lapar akan mistisme, lapar akan mitos, sejarah dan lapar akan tradisi. Dan bukankah kelaparan ini telah membuat peradaban manusia semakin jauh melampaui modernitas?.

Komitmen Transformasi Global

Upaya fides quarens intellectum memang bukan hal yang mudah, para pencetus awal teori ini bahkan tak dapat mengelak dari tuduhan sesat dan kafir, sampai-sampai Imam Ghazali harus menulis At-Tahafut Falasifat untuk menunjukan kerancuan pengusung rasionalitas iman ini. Di-era modern Caknur dan para pendukungnya yang diklaim sebagai pengusung madzhab liberal (Islam Liberal) juga mendapat perlakuan yang sama, bukannya menciptakan realitias baru yang berperadaban malahan memunculkan konflik teologis yang berkepanjangan.

Celakanya para pencetus fides querens intellectum pada masa mutakhir ini tidak mampu menyelesaikan semua tahapan rasionalisasi keimanan dalam membaca bahasa zaman, terhenti, alih-alih melahirkan kerancuan hermeunetik.

Kerancuan hermeneutic ini telah membuat para pencari autentisitas terjebak dalam kubangan pragmatisme dan enggan untuk menyejarah ketahap akhir dari lingkaran hermeneutic. Upaya hermeunetik tak ubahnya menimbulkan konflik intern yang tak berkesudahan.

Permenungan eksegesis yang muncul dari hasil penafsiran bahasa zaman yang despotic dan penuh dengan kerancuan yang entah disengaja ataupun tidak dibiarkan hanya berkutat pada tahapan dialektika penafsiran, permenungan yang tanpa aksi dan reaksi.

Oleh karena itu upaya pencarian autentisitas; baik identitas diri, agama maupun bangsa haruslah mengarah pada upaya pencitaan peradaban yang menjungjung tinggi moral dan etika global. Rahim peradaban yang mampu melahirkan manusia-manusia yang memiliki komitmen penuh terhadap transformasi yang mulia.